Suatu hari, seorang pemuda mendatangiku. Aku memperhatikan wajahnya dan nampaklah sebuah wajah yang gelap. Aku bertanya tentang hajatnya, namun ia hanya diam saja. Aku ulangi pertanyaanku dan ia masih tidak mau berbicara. Aku memandang lebih dekat kepadanya, ternyata air mata menetes dari kedua matanya. Aku bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Ia berkata, “Aku tidak mampu lagi bernafas karena kesempitan yang aku rasakan dan kejenuhan. Demi Allah, wahai Syaikh, seakan-akan di dadaku ada sebuah gunung yang menindih dan menutup pernapasanku… Aku tidak mampu lagi bergaul dengan manusia, teman, bahkan dengan ibu, ayah dan saudara-saudaraku… Aku tidak mampu lagi duduk bersama-sama mereka… Tertawaku hanyalah basa basi, dan kegembiraanku hanyalah sesuatu yang dibuat-buat… Aku datang kepadamu agar engkau menyembuhkan aku dengan ruqyah… Atau engkau tunjukkan padaku orang yang bisa meruqyah…”
Aku bertanya, “Kesempitan yang engkau rasakan pastilah memiliki sebab. Apakah sebabnya?”
Ia menjawab, “Aku tidak tahu..”
Aku bertanya, “Bagaimana hubunganmu dengan Rabb-mu?”
Ia menjawab, “Buruk!… Tolong dengarkan kisahku…”
Aku berkata, “Ceritakanlah!”
Anak muda itu pun bercerita, “Saat umurku 14 tahun, ayahku pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya dan aku ikut bersamanya. Ayahku melalaikan diriku dan membiarkan aku hidup diantara diskotik dan pusat-pusat perbelanjaan di umurku yang masih sangat belia.
Ketika ayahku menyelesaikan studinya selama 2 tahun, kami pun kembali ke Riyadh. Aku menuntut supaya ia mengembalikanku ke Amerika untuk melanjutkan studiku tapi ia menolaknya. Akhirnya aku belajar di kelas 3 SMA dan aku sengaja untuk tidak lulus dalam semua pelajaranku. Aku mengulanginya lagi setahun dan sengaja lagi untuk tidak lulus. Aku ulangi untuk tahun yang ketiga, dan dengan sengaja aku berusaha untuk tidak lulus. Setelah ayahku melihat hal itu, ia mengirimku kembali ke Amerika. Mestinya, aku bisa menyelesaikan studiku dalam 4 tahun, namun ternyata aku menyelesaikannya dalam 9 tahun!!
Tidak tersisa maksiat di muka bumi ini, melainkan aku pernah melakukannya di sana. Karena dahulu aku ingin bersenang-senang dengan keremajaanku selagi aku mampu…
Kemudian aku kembali ke Riyadh dan mulai belajar di kampus. Aku masih saja melakukan dosa-dosa besar maupun kecil, akan tetapi, kesempitan ini… ia mulai menutupi nafasku… menyempitkan hidupku… Aku bosan dengan segala hal… Segala sesuatunya pernah aku coba… Akan tetapi kejenuhan itu masih saja bersamaku…”
Ia mengucapkan seluruh perkataannya dengan tangisan…
Aku bertanya, “Apakah engkau masih shalat?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Aku berkata, “Penyembuhan pertama untuk kesempitan ini adalah memperbaiki hubunganmu dengan Dzat, yang hatimu berada di Tangan-Nya, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya… Jagalah selalu shalatmu di masjid, dan perjanjianku denganmu adalah setelah 7 hari nanti.”
Hari-hari pun berlalu. Setelah sepekan, pemuda itu datang dengan wajah yang berbeda. Pertama kali melihatku, ia langsung memelukku dan berkata, “Jazakallahu khairan… Demi Allah, ya Syaikh, aku berada dalam kebahagiaan yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak 9 tahun lalu…”
Aku bertanya kepadanya tentang kesempitan, kejenuhan dan kegelisahannya? Ternyata, seluruhnya telah hilang dari dirinya…
Benarlah Allah dalam firman-Nya (artinya) :
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?’
Dia (Allah) berfirman, ‘Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.’
Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.”
Comments
Post a Comment